Sepanjang prosa yang pernah kuuraikan, kupikir tentangmu adalah buah isi yang tak akan pernah habis manisnya.
Tubuhku mungkin tak mampu melindungi seluruhmu, namun, kupastikan dekapanku merupa makna tempat pulang. Ku upayakan telapak tanganku mampu memayungi dirimu dari hujan yang membadai.
Bila di depan mereka kau pakai banyak persona untuk tutupi ketidaksempurnaan, maka, di depanku kau tak perlu bersusah payah menjadi sebagaimana mereka pikirkan. Perlihatkanlah apa adanya dirimu, yang penuh lubang tak sempurna hingga duri yang dapat melukai. Akan tetap ku rangkul dirimu biar tubuhku berakhir berdarah sendiri.
Biar ragumu terpancar jelas pada sorot mata yang ku anggap rumah itu, namun, sudahkah kamu lihat bahwa aku tak pernah ingkar janji? Kala duniaku turut runtuh saat ku saksikan kamu meluruh penuh pilu, aku memilih pinggirkan tiap-tiap kecewa, masih ku hampiri kamu dengan segala perasaan yang sama seperti pertama kali aku menyadari bahwa aku jatuh cinta; yang hangat serupa sapaanmu pertama kali — “Aku hanya ingin berkenalan denganmu,” ucapmu malam itu.
Terima kasih untuk banyak sekali kotak memori yang kamu isi dengan hal-hal baik di kepalaku. Biar kuraup sendiri apa-apa yang membuatku jatuh hati padamu, segala baik dan hangat yang kamu beri biar berdampingan sedih yang berkepanjangan. Kupikir, bagaimana aku bahagia adalah jauh lebih membekas dibanding hal lainnya.
Bahkan jika aku harus kembali ke waktu kemarin kita bertemu, aku akan tetap memilih jatuh hati padamu walaupun akhir bahagia tak akan pernah menjadi milik kita.
Mari bertemu kembali di waktu yang lebih baik, pada sebenar-benarnya kesempatan, mari untuk tidak lagi saling melepaskan genggaman. Pada sebenar-benarnya kesempatan, tolong cintaiku sebagaimana aku pantas kamu perjuangkan.
